Tidakada batasan kapan dan dimana umat Islam harus membaca Istighfar , Kapanpun kalimat Astaghfirullah bisa dibaca agar terhindar dari segala hal yang berbuntut dosa. Tahukah Anda ada berbagai keutamaan membaca Istighfar bagi umat Islam. Berikut adalah keutamaan membaca Istighfar dikutip dari berbagai sumber, Senin (17/06/2019) 1. kumpulankisah teladan penuh hikmah Diberdayakan oleh Blogger. Tayangan halaman minggu lalu. Archives 2012 (43) 09/23 - 09/30 (11) TAUBAT SEORANG WANITA BUTA; TAUBAT LELAKI YANG SIBUK ISTIGHFAR 09/02 - 09/09 (18) 08/26 - 09/02 (14) Popular Posts. ORANG-ORANG TAMAK HasanAl Bashri hanya mengatakan, "Bacalah istighfar." Selain orang itu, ada juga yang mengadu kepada beliau tentang kemiskinan yang dia jalani. Imam Hasan juga menjawab, "Perbanyaklah membaca istighfar." Ada lagi yang mendatangi beliau perihal sulitnya dia memiliki anak. Sudah lama menikah tapi tidak kunjung dikaruniai momongan. ad_1] loading Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya' berkisah, pada suatu hari, Abu Amr, seorang ahli tafsir terkemuka, sedang mengajar Al-Qur'an. Di tengah-tengah pelajaran, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan bergabung ke dalam kelasnya. Melihat anak yang sangat tampan itu, Abu Amr terkesima dan sampai-sampai dia melupakan seluruh isi Al-Qur'an. Api telah Perbanyaklah istighfar dmn pun kalian berada karena sesungguhnya kalian tdk mengetahui kapan turunnya ampunan Allah SWT." (Hasan Al-Bashri) 04 Aug 2022 BeliKitab DALAILUL KHAIRAT Dilengkapi Istighfar Imam Hasan Al Bashri di Afelia D 885. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. hoodie wanita ipad mini 4 xiaomi mi a1 lddt. IMAM Hasan Al-Bashri adalah tokoh sufi yang hidup pada masa awal kekhalifahan Umayyah. Beliau lahir di Madinah pada tahun 21 Hijrah 642 Masehi. Ayahnya merupakan pembantu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal sebagai penulis Alquran, Zaid bin Tsabit. Ibunya adalah Khairoh, salah seorang istri nabi, Ummu usia 14 tahun, Al-Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah beliau mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Imam Hasan kemudian dikategorikan sebagai seorang tabi'in generasi setelah sahabat. Hasan al-Basri juga pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasulullah sehingga dia muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Hasan Al Bashri adalah para sahabat Nabi , antara lain Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Umar. Imam Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari Jum'at 5 Rajab 110 Hijrah 728 Masehi, pada umur 89 Hasan adalah pendukung kuat nilai tradisional dan cara hidup zuhud, kehidupan dunia hanyalah perjalanan untuk ke akhirat, dan kesenangan dinafikkan untuk mengendalikan nafsu. Dia merupakan tokoh sufi dalam islam. Khutbah-khutbahnya dianggap sebagai contoh terbaik dan terawal sastra ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Basri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Basri berkata kepadanya “ Istighfar lah engkau kepada Allah”.Kemudian orang kedua datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Basri juga berkata kepadanya ” Istighfar lah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Basri berkata kepadanya ” Istighfar lah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang keempat mengadukan tentang kebunnya yang kering, kemudian Hasan Al- Basri berkata kepadanya ”I stighfar lah engkau kepada Allah”. Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Basri dijawabnya dengan “ Istighfar lah engkau kepada Allah”.Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Basri bertanya kepada beliau dengan sangat penasaran. Wahai Syaikh Hasan al-Basri, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar , mengapa demikian?”Hasan Al-Bashri menjawab “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12."فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا 10 يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا 11 وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا 12“Maka aku katakan kepada mereka Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10-12Tahmid dan IstighfarSuatu hari, ada seorang kuli pengangkut air yang sehari-harinya senantiasa mengucapkan tahmid dan istighfar . Karena penasaran, Hasan Al-Basri melihat hal tersebut dan menanyakan kepada sang kuli pengangkut air yang saat itu berkunjung ke rumahnya.“Kalau boleh tahu sejak kapan engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri.“Sudah lama”, jawab sang kuli pengangkut air.“Kenapa engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan kuli menjawab, “Karena kita selalu berada dalam dua keadaan, kala kita mendapatkan nikmat, seperti nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan, kita harus bersyukur kepada Allah namun kala kita berada dalam kondisi lalai, banyak melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kemudharatan, kita harus meminta ampun kepada-Nya,” jawab sang kuli.“Lalu apa faidahnya jika engkau mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri lagi.“Doa-doaku selalu dikabulkan. Tapi ada satu doaku yang belum Allah kabulkan,” katanya.“Boleh aku tahu doa apa itu?”“Allah belum mengabulkan doaku untuk bertemu dengan ulama yang sangat ku kagumi.”“Siapakah ulama itu?”“Hasan Al-Basri”Imam Hasan Al-Basri kemudian memeluk sang kuli dan berkata, “Sekarang Allah telah mengabulkan doamu, akulah Hasan Al-Basri itu.”Sang kuli pun terkejut dan tidak berhenti mengucap puji syukur karena Allah telah mengabulkan doanyamhy OLEH HASANUL RIZQA Hasan al-Bashri 642-728 merupakan seorang ulama besar pada era sahabat Nabi. Tokoh yang menekuni jalan sufi itu menjadi penerang umat pada masanya dan generasi-generasi kemudian. Cahaya Ilmu dari Era Sahabat Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan Islam tidak mengalami perlambatan. Sebaliknya, pengaruh dakwah justru terus meluas. Cakupan syiar agama tauhid tidak hanya menyinari Jazirah Arab, tetapi juga negeri-negeri di sekitarnya, seperti Mesir, Syam, dan Mesopotamia Irak. Tumbuhnya peradaban Islam dalam masa 100 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW terjadi melalui perjuangan bersama. Penggerak utamanya ialah para sahabat Nabi SAW. Di bawah mereka, terdapat generasi tabiin dan at-tabiit taabi’in. Reputasi ketiga kelompok tersebut bahkan diakui oleh al-Musthafa shalallahu alaihi wasallam sendiri “Yang terbaik dari kalian umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabiin, kemudian orang-orang setelah mereka at-tabiit taabi’in.” Di Irak, dinamika dakwah berpusat pada beberapa kota. Salah satunya ialah Basrah. Kaum Muslimin, apabila menyebut nama daerah itu pada masa sahabat, pasti teringat pada sosok mulia kebanggaan masyarakat setempat. Dialah Syekh Hasan al-Bashri. Pemilik nama lengkap Abu Said bin Abi Hasan Yasar al-Bashri itu sesungguhnya lahir di Hijaz, bukan Basrah sebagaimana diindikasikan nama gelarnya. Tepatnya, daerah Rabadzah—sekira 170 kilometer dari arah timur Madinah al-Munawwarah—menjadi tempatnya pertama kali menghirup udara dunia pada 21 Hijriyah atau 642 M. Rabadzah kini dikenal sebagai Kota Abu Dzar al-Ghifari karena di sanalah sahabat Nabi SAW tersebut menghabiskan sisa usianya. Menurut Juan Eduardo Campo dalam Encyclopedia of Islam 2009, Hasan al-Bashri berasal dari keluarga bekas tawanan perang. Ayah cendekiawan tersebut merupakan seorang Persia. Sebelumnya, bapaknya itu—bersama puluhan orang Persia lain—ditangkap oleh pasukan Muslimin dalam sebuah perang di Maysan, Irak. Begitu dibawa ke Hijaz, tawanan itu ikut dibebaskan, untuk selanjutnya bekerja pada seorang sahabat Nabi SAW, Zaid bin Tsabit. Adapun ibunda Hasan bernama Khairah. Apabila Abi Hasan Yasar menjadi pembantu Zaid sang sekretaris Nabi SAW, perempuan itu bekerja pada seorang ummul mu`minin, Ummu Salamah. Yasar, dan Khairah kemudian. Selanjutnya, kedua mantan budak itu hijrah ke Madinah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki. Kira-kira sembilan tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, lahirlah buah hati mereka. Nama “Hasan” merupakan pemberian dari Ummu Salamah. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Walaupun tidak banyak sumber sejarah tentang masa kecilnya, seperti dikatakan Campo, Hasan patut diduga menerima pendidikan agama dengan baik sekali selama bertempat tinggal di sana. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Sebab, lingkungannya diisi orang-orang yang mulia. Apalagi, ia sendiri besar dengan curahan cinta dan kasih sayang dari para keluarga Ahl al-Bait dan sahabat Rasulullah SAW walaupun dirinya terlahir dari orang tua yang mantan budak. Sebagai contoh, kisah kebaikan dari istri Nabi SAW, Ummu Salamah. Mantan majikan ibunya itu sangat menyayangi Hasan sejak kecil. Apabila Khairah sedang keluar rumah untuk suatu urusan, Hasan yang masih bayi sering merengek mencari-cari ibunya. Ketika itulah, sang ummul mu`minin menggendongnya dan bahkan menyusuinya hingga bayi tersebut tenang kembali. Pernah suatu ketika, Ummu Salamah juga membawa Hasan kecil ke hadapan Khalifah Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin kemudian mengelus kepalanya sembari berdoa, “Ya Allah, pahamkanlah dia tentang agama-Mu, dan jadikanlah orang-orang mencintainya.” Sejarah membuktikan, munajat itu dikabulkan Allah SWT. Sang anak akhirnya menjadi seorang ulama besar dari generasi tabiin. Sebelum menapaki masa remaja, Hasan al-Bashri telah menimba banyak ilmu dari kalangan Ahl al-Bait dan para sahabat Nabi SAW di Madinah. Mereka mengenalnya sebagai seorang murid yang cerdas, mudah menyerap pelajaran dan hikmah. Pada mulanya, Hasan kecil belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah SAW yang kala itu masih ada—terutama Ummu Salamah. Selanjutnya, ia pun rajin menghadiri pelbagai halaqah yang digelar di Masjid Nabawi. Madinah pada waktu itu dijuluki sebagai pusat kota hadis. Sebab, ada banyak penghafal hadis yang tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka pernah mengiringi dakwah Islam sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Karena itu, terasa sekali semangat keilmuan penduduk Kota Nabi. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka, termasuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan lain-lain. Begitulah keseharian santri yang berguru pada lebih dari 100 orang sahabat Nabi SAW tersebut. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka. Hijrah ke Basrah Mulai dari masa Khalifah Abu Bakar hingga Umar bin Khattab, umat terus berjuang melawan dominasi Imperium Sasaniyah. Hasilnya, satu per satu wilayah—termasuk Irak—berhasil direbut kaum Muslimin dari tangan kerajaan Majusi itu. Barulah pada era amirul mukminin Utsman bin Affan, seluruh daerah kekuasaan Persia berada dalam genggaman daulah Islam. Dari sekian banyak kawasan di Irak, Hasan al-Bashri menjadikan Basrah sebagai tujuan perjalanannya. Saat berusia 15 tahun, pemuda saleh nan cerdas itu memulai hijrahnya dari Madinah ke kota seluas 75 km persegi tersebut. Secara geografis, Basrah berlokasi di Shatt al-Arab, daerah muara yang mempertemukan aliran Sungai Tigris dan Eufrat. Kawasan tersebut mulanya bernama Ubullah dan dikuasai Sasaniyah. Pada awal 630-an, pasukan yang dipimpin Utbah bin Ghazwan sukses merebutnya. Atas instruksi Khalifah Umar, dibangunlah kamp balatentara Muslim di sana. Sejak saat itu, namanya menjadi Basrah. Seiring runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Seiring dengan runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Reputasi kota tersebut pun kian terkenal sehingga menarik perhatian kaum terpelajar Muslim dari Jazirah Arab untuk mendatanginya. Hasan muda ikut termotivasi untuk tinggal di Basrah. Bahkan, pada akhirnya kota tersebut menjadi tempatnya beramal hingga tutup usia. Karena itu, orang-orang menjulukinya “Syekh Hasan al-Bashri”—Tuan Guru Hasan dari Kota Basrah'. Amal yang dilakukannya tidak hanya pada bidang pendidikan, tetapi juga militer. Bahkan, Hasan tercatat berkali-kali mengikuti jihad fii sabilillah selama bertempat tinggal di sana. Dengan dipimpin al-Muhallab bin Abi Sufra, komandan pasukan Islam di Basrah, anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah itu selalu berada di garis depan dalam tiap pertempuran. Keberaniannya diakui banyak tokoh Muslim sezamannya. Seorang sahabat Nabi SAW, Abu Burdah, memujinya dengan perkataan, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan.” Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan. Sejak menjadi warga Basrah, Hasan muda semakin giat belajar. Ia menuntut ilmu-ilmu agama dari banyak ulama besar setempat, termasuk kalangan sahabat Nabi SAW. Seorang gurunya bernama Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas, dirinya menerima ilmu tafsir Alquran, hadis, serta qiraah. Dengan gugurnya Utsman bin Affan pada 656 M, kepemimpinan umat diteruskan kepada Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah lantas memindahkan ibu kota dari Madinah ke Irak. Hasan bersama dengan generasi muda Muslimin setempat memanfaatkan perpindahan pusat kekhalifahan itu dengan sebaik-baiknya, yakni menimba ilmu dari sang menantu Rasulullah SAW. Dari Ali, Hasan belajar banyak hal, khususnya ilmu bahasa dan sastra Arab. Di samping itu, dia juga mengagumi sang karamallahu wajhah yang selalu memberi nasihat penuh hikmah. Menjadi ulama Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, tibalah saatnya bagi Hasan al-Bashri untuk berkiprah sebagai seorang guru. Saat berusia 40 tahun, dia telah memimpin sebuah halaqah keilmuan di Masjid Raya Basrah. Ada banyak orang yang menjadi muridnya. Mereka tidak hanya berasal dari kota setempat, tetapi juga seantero Irak. Ia menjadi ulama yang paling masyhur di Basrah. Dalam menyampaikan ilmu, Hasan tidak hanya menyasar pikiran, tetapi juga perasaan para pendengarnya. Tidak jarang, jamaah akan meneteskan air mata tatkala menyimak ceramahnya yang penuh hikmah. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Hati siapapun akan tergugah apabila mendengarkan uraiannya. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Pengikutnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Para elite pemimpin pun menaruh hormat takzim kepadanya. Hasan sering kali menasihati para amirul mukminin, termasuk yang memimpin dalam era Dinasti Umayyah. Salah seorang penguasa yang pernah diberikannya petuah ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yakni raja kedua Umayyah yang juga cukup lama berkuasa di zaman dinasti tersebut. Ceramah-ceramahnya selalu menarik hati. Sebab, Hasan menggunakan gaya bahasa yang santun serta sangat piawai dalam memanfaatkan kalimat-kalimat sastrawi. Sementara, bangsa Arab mudah terpesona pada estetika bahasa. Beberapa orang, baik yang hidup sezaman maupun sesudahnya, mengabadikan untaian nasihat-nasihat dari sang syekh dalam berbagai buku. Salah satu contoh nasihatnya yang tercatat ialah sebagai berikut. “Wahai anak Adam! Kalian bukanlah apa-apa kecuali hitungan hari. Setiap hari itu lewat, sebagian darimu pun pergi menghilang.” Selain itu “Kematian menunjukkan kenyataan hidup. Tidaklah kematian meninggalkan kebahagiaan kecuali bagi orang-orang yang bijak.” Dalam bahasa Indonesia, bunyi petuah itu barangkali “kehilangan” nuansa sastrawinya. Yang jelas, dalam bahasa aslinya kata-kata tersebut mudah dihapalkan serta amat menyentuh hati. ISTIGHFAR atau Astaghfirullah adalah tindakan meminta maaf atau memohon keampunan kepada Allah yang dilakukan umat Islam. Sesungguhnya ia adalah perbuatan yang dianjurkan dan sesuatu amalan penting di dalam ajaran Islam. Bagi memudahkan pemahaman berkaitan mustajabnya amalan istighfar, ulama bernama Ahmad Musthafa al-Maraghi ada menulis kisahnya menerusi kitab Tafsir al-Maraghi. Sebagai umat Islam kita perlu menataati setiap perintah-Nya. Kisah ini wajar menjadi teladan dan ia berkisar tokoh sufi bernama Hasan al-Basri, yang juga anak kepada pembantu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal sebagai penulis al-Quran, Zaid bin Tsabit, manakala ibunya Khairoh pula pembantu seorang isteri Baginda, Ummu ke Basrah pada usia 14 tahun, beliau kemudiannya dikenali sebagai seorang tabi'in iaitu generasi setelah sahabat Rasulullah SAW, sekaligus pernah berguru kepada beberapa sahabat Baginda sehingga muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Imam Hasan sering didatangi segenap lapisan masyarakat bertanyakan hukum agama dan meminta nasihat. Diceritakan pada satu hari, seorang lelaki telah datang mengadu kepadanya kerana berdepan masalah kelaparan. Beliau dengan penuh hikmah menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Seterusnya beliau didatangi seorang yang menceritakan masalah yang dilaluinya kerana ketiadaan zuriat. Sekali lagi Imam Hasan menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Berpegang teguhlah pada al-Quran. Kemudian datang pula seorang lelaki merintih mengenai kebunnya kekeringan kerana musim kemarau. Jawapan sama diulangi dengan penuh hikmah, “Beristighfarlah kepada Allah.” Jawapan Hasan al-Basri menghairankan masyarakat sekitarnya. Salah seorang daripada penduduk itu bertanya, “Beberapa orang lelaki datang dan mengadu pelbagai masalah, tetapi tuan hanya menyuruh mereka semua untuk melafazkan istighfar.” Hasan al-Basri menjawab “Aku sama sekali tidak mengatakan apapun dari diriku sendiri. Sesungguhnya Allah berfirman seperti itu.” Firman Allah yang dimaksudkan oleh Hasan adalah Surah Nuh ayat 10-12. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda yang bermaksud “Barang siapa melazimkan istighfar, maka Allah akan jadikan jalan keluar dalam setiap kesulitan hidup dan jadikan setiap kegundah-gulanaan menjadi kebahagiaan dan Allah akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah Begitu indahnya hidup ini jika dipenuhi dengan amalan-amalan yang sememangnya tersedia dalam kitab suci al-Quran. Yang penting kita mendalaminya dan menyakini setiap isinya kerana pasti ada penyelesaian atas apa sahaja masalah yang dilalui. Nak macam-macam info? Join grup Telegram mStar! — Dalam sejarah peradaban Islam, ada banyak tokoh yang menjadi pelita ilmu pada masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di antara mereka ialah Syekh Hasan Al Bashri. Ulama yang menghabiskan sisa usianya di Basrah, Irak, itu berasal dari generasi tabiin. Sejak kecil hingga tumbuh dewasa, dirinya belajar dari banyak sahabat Rasulullah SAW. Karena itu, akhlaknya pun mengikuti keteladanan mereka. Seperti diungkapkan seorang sahabat Rasul SAW, Abu Burdah, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al- Hasan. Kedalaman ilmu dan keluhuran budi pekerti berpadu dalam diri anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah tersebut.” Reputasi Hasan Al Bashri mulai mengemuka sejak kepindahannya dari Madinah al-Munawarrah ke Basrah. Kala itu, lelaki tersebut baru berusia 15 tahun. Sejarah membuktikan, kota di sekitar Sungai Eufrat dan Tigris itu menjadi saksi perjalanan hidupnya sebagai seorang alim. Bagaimanapun, motif awal hijrahnya tidak melulu berkaitan dengan rihlah keilmuan. Seperti diceritakan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, Hasan al-Bashri sebelum dikenal sebagai seorang ulama-sufi berprofesi sebagai pedagang. Ada banyak komoditas yang dijualnya, tetapi yang paling utama ialah perhiasan, semisal mutiara atau permata. Bisnisnya berkembang pesat. Pamornya sebagai pengusaha sukses pun masyhur hingga ke luar negeri. Pada suatu ketika, Hasan melakukan perjalanan bisnis dari Irak hingga ke wilayah Romawi Timur atau Bizantium. Sesampainya di kota tujuan, dia disambut para pejabat lokal, termasuk seorang menteri. Keesokan harinya, sang menteri mengajaknya untuk turut serta dalam rombongan kerajaan. “Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat,” kata pejabat Bizantium itu. Baiklah, jawab Hasan tanpa ragu. Maka seharian itu, pengusaha asal Basrah tersebut membersamai kelompok kecil yang dipimpin sang perdana menteri. Setelah berjam-jam lamanya, mereka akhirnya tiba di padang pasir. Rombongan ini berhenti kira-kira 100 meter dari titik tujuan, yakni sebuah kemah yang berukuran sedang. Dari kejauhan, sudah tampak betapa istimewa tempat tinggal semipermanen tersebut. Hasan diberi tahu tentang tenda itu. Tali temalinya terbuat dari sutra. Adapun pancang-pancangnya yang menancap ke tanah berbahan dasar emas. Perdana menteri yang menemaninya itu lantas memintanya tetap berdiri, tidak langsung menuju ke kemah tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah sekelompok pasukan. Mereka terlihat mengelilingi tenda unik itu. Komandannya tampak berkata-kata sejenak ke arah dalam kemah, lantas memimpin anak buahnya lagi untuk pergi. Tak lama kemudian, datanglah kira-kira 500 orang cendekiawan. Rombongan alim ulama itu juga melakukan tindakan yang persis seperti para prajurit tadi. Setelah urusannya selesai, mereka pun beranjak pergi. Selanjutnya, Hasan menyaksikan kaisar dan para pengawalnya mendekati kemah tersebut. Sesudah mereka semua hilang dari pandangan, sang perdana menteri mempersilakan Hasan untuk mendekati tenda itu. Ternyata, di dalamnya terdapat sebuah kuburan. Pada nisannya tergurat keterangan, inilah tempat peristirahatan terakhir bagi seorang pangeran yang wafat dalam usia muda. “Apa maksud dari semua yang terjadi barusan?” tanya Hasan Perdana menteri itu pun menjelaskan kepadanya. Rombongan prajurit dan komandan militer tadi memang rutin menyambangi makam sang mendiang. Si jenderal sering kali berkata di tepi kuburan itu, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa engkau terjadi di medan pertempuran, kami tentu akan mengorbankan jiwa dan raga demi menyelamatkanmu. Namun, maut yang engkau rasakan datang dari Dia Tuhan yang tidak sanggup kami perangi, tidak kuasa kami tantang.” Adapun para cendekiawan yang datang sesudahnya berkata di hadapan kuburan tersebut, “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat.” Sementara, kaisar yang berziarah tadi ialah bapak sang almarhum. Di dekat kuburan putranya itu, sang raja kerap berujar, “Wahai cahaya hati Ayah! Jikalau seluruh pasukan, kaum cerdik-pandai, dan harta benda yang Ayah miliki bisa menghalangi engkau dari kematian, sungguh sudah pasti Ayah lakukan sejak dahulu. Namun, maut yang menimpamu sudah ditakdirkan oleh-Nya.” Cerita dari perdana menteri Bizantium itu sangat menggugah hati Hasan. Begitu kembali ke kota asalnya, lelaki kelahiran Hijaz ini bertekad untuk tidak lagi menyibukkan seluruh waktunya pada urusan duniawi. Ia bersumpah untuk hidup sederhana serta menenggelamkan dirinya dalam ibadah kepada Allah SWT. sumber Harian Republika Salah satu tokoh penting dalam dunia Islam adalah Imam Hasan al-Bashri. Ia adalah seorang ulama sufi yang banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya. Bila dirunut dari latar belakang keluarganya, Hasan al-Bashri bukanlah anak seorang raja ataupun kalangan tokoh terpandang melainkan hanya seorang anak dari hamba sahaya milik Zaid bin Tsabit. Ayah Hasan al-Bashri bernama Yasar berasal dari daerah Maisan, pinggiran kota Bashrah di negara Irak. Dahulu daerah Maisan ditaklukkan umat islam pada tahun 12 Hijriah di bawah kepemimpinan panglima Khalid bin Walid. Sedangkan, ibunya adalah hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Rasulullah saw. Sejak kecil, Hasan al-Bashri telah mendapatkan berkah doa dan kasih sayang dari para kekasih Allah. Pernah suatu ketika di masa balita, ia ditinggal bekerja oleh ibunya. Iba melihat Hasan al-Bashri kecil menangis maka Ummu Salamah, istri Rasulullah saw pun menimangnya serta menyusuinya. Begitu juga, ketika ia masih kecil Umar bin Khattab mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama kepada anak kecil ini dan buatlah umat mencintainya” Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, [Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], 2007, vol. IV 565. Bila dirunut dari sejarah, Hasan al-Bashri lahir di daerah Rabadzah, sebuah dataran berjarak 170 km dari kota Madinah pada tahun 21 Hijriah. Kemudian, ia dibawa keluarganya ke kota Madinah dan menetap di rumah Ummu Salamah, istri Rasulullah. Secara fisik, Hasan al-Bashri memiliki wajah yang sangat tampan. Diceritakan suatu ketika asy-Sya’bi berpesan kepada Ashim al-Ahwal, “Sampaikan salamku kepada Hasan al-Bashri di kota Bashrah.” Ashim al-Ahwal kebingungan dan menjawab, “Aku tidak pernah mengenalnya”. Maka, asy-Sya’bi menjawab, “Nanti ketika engkau masuk kota Bashrah masuklah ke dalam masjid kota Bashrah, kemudian carilah orang yang paling tampan yang belum pernah engkau temui disana.” “Sungguh aku telah melakukan perintah asy-Sya’bi maka aku melihat Hasan al-Bashri adalah seorang yang sangat tampan yang dikelilingi oleh murid-muridnya di masjid kota Bashrah.” komentar Ashim al-Ahwal. Ulama Multidisiplin Hasan al-Bashri memiliki kecerdasan dan daya ingat yang sangat kuat serta nalar yang sangat tajam. Abu Qatadah al-Adawi mengatakan, “Wajib bagi kalian belajar kepada syekh ini Hasan al-Bashri. Demi Allah, aku melihat Hasan al-Bashri sangat mirip pendapatnya dengan Sayyidina Umar bin Khattab”. Sahabat Anas bin Malik berwasiat, “Wajib bagi kalian belajar kepada Maulana Hasan al-Bashri, maka bertanyalah kepadanya.” Kemudian, ada yang bertanya, “Wahai Abu Hamzah julukan Sahabat Anas bin Malik, mengapa engkau menganjurkan kami bertanya kepada Hasan al-Bashri?” Anas bin Malik menjawab, “Dia menimba ilmu kepada kami, akan tetapi sekarang kami telah banyak lupa sedangkan ia masih mengingat ilmu yang kami ajarkan” Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, [Beirut Dar Fikr], 1999, vol. III 41. Selain itu, Hasan al-Bashri juga seorang ahli fiqih yang sangat hebat. Syekh Yunus bin Ubaid al-Abidi mengatakan, “Kami telah bertemu dengan banyak ulama, dan tak ada yang lebih unggul dan sempurna ilmunya melebihi Hasan al-Bashri”. Pernah suatu ketika Imran al-Qashir menanyakan suatu permasalahan dalam ilmu fiqih kepada Hasan al-Bashri. Maka, Hasan al-Bashri menjawab “Sebagian ulama fiqih menjawab seperti ini dan sebagian yang lain berpendapat seperti ini. Ketahuilah bahwa seorang ahli fiqih sejati adalah seorang yang zuhud di dunia, yang waspada dalam menjaga agamanya, dan senantiasa beribadah kepada Allah”. Lihat kitab Hilyatul Auliya’ karya syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani cetakan Maktabah at-Taufiqiyyah Kairo 2007 Dalam ilmu Hadits, Hasan al-Bashri dinilai perawi yang tsiqqah terpercaya khususnya dalam hadits yang ia riwayatkan dari Samurah bin Jundub. Akan tetapi, ada banyak hadits yang ia riwayatkan lemah karena cacat berupa tadlis tidak menyebutkan beberapa perawi di atasnya ataupun mursal tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat khususnya yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah. Syekh Syamsuddin adz-Dzahabi, Mizal al-’Itidal fi Naqd ar-Rijal, [Kairo Muassasah ar-Risalah], 2017 383. Berguru pada para Sahabat Nabi Di antara guru-gurunya dari golongan sahabat nabi adalah Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Menurut Ibnu Hibban, Syekh Hasan al-Bashri telah menimba ilmu kepada 120 tokoh dari golongan sahabat. Ibnu Hibban, ats-Tsiqqat [Beirut Dar Fikr], 1996, vol. IV 123. Di antara petuahnya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah “Ingatlah! bahwa berpikir sebelum mengambil keputusan akan mendatangkan kebaikan dan menyesali perbuatan dosa akan menjauhkan dari keburukan. Waspadalah dengan kenikmatan dunia karena ketenteraman di dalamnya hanyalah semu, angan-angan meraihnya adalah racun, puncaknya adalah keburukan. Adakalanya nikmat dunia menggelincirkan dari ketaatan kepada Allah. Adakalanya nikmat dunia adalah musibah yang merusak agamamu. Waspadalah, sungguh Allah akan membalas hambanya yang taat dan menyiksa hambanya yang durhaka.” “Ingatlah! Allah telah menjadikan kenikmatan dunia sebagai ujian bagi para nabi dan rasul serta pelajaran bagi umatnya. Sungguh orang yang lalai lagi durhaka kepada Allah menyangka bahwa mereka sedang dimuliakan Allah dengan kenikmatan dunia padahal ketika itu mereka sedang dijauhkan dari mengingat Allah. Ingatlah! Waktu adalah seorang tamu yang datang kepadamu dan ia akan berlalu meninggalkanmu. Seandainya engkau memuliakan waktu dengan beribadah dan berbuat baik niscaya waktu akan menjadi saksi kebaikanmu di hari kiamat. Dan seandainya engkau menghinakan waktu dengan bermaksiat dan berbuat buruk niscaya ia akan menjadi saksi keburukanmu di hari kiamat.” “Ingatlah! Sisa umur yang tersisa bagimu di dunia tak ternilai harganya dan tak dapat tergantikan dengan yang lain. Dunia dan seisinya tak akan mampu menyamai nilai satu hari yang tersisa dari usiamu. Maka, jangan engkau tukar sisa usiamu yang sangat bernilai dengan kenikmatan dunia yang hina. Koreksilah dirimu setiap harinya, waspadalah atas kenikmatan dunia, jangan sampai engkau menyesal ketika telah datang ajal kematianmu. Semoga nasehat ini bermanfaat bagi kita dan Allah berikan kita akhir hidup yang baik” Syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani, Hilyatul Auliya’ [Kairo Maktabah at-Taufiqiyyah], 2007, vol. II 128. Hasan al-Bashri mewasiatkan, “Seandainya engkau tak mampu berpuasa di siang hari dan engkau tak mampu menjalankan shalat malam. Ingatlah! Engkau sedang terbelenggu oleh dosa dan maksiat.” Tokoh kita satu ini wafat pada tahun 110 Hijriah di kota Basrah. Diceritakan, suatu ketika Malik bin Dinar pernah bercerita tentang mimpinya bertemu Hasan al-Bashri. Dalam mimpi itu Hasan al-Bashri memakai pakaian yang sangat indah dan bersinar wajahnya. “Bukankah engkau telah wafat? Lantas apakah yang membuatmu diberikan Allah derajat yang tinggi ini?” tanya Malik bin Dinar. Hasan al-Bashri menjawab, “Aku diberikan Allah derajat orang-orang yang bertakwa karena rasa sedihku atas dosa-dosa yang aku lakukan. Katahuilah bahwa orang yang banyak bersedih atas dosa-dosa yang dia perbuat akan mendapatkan banyak kebahagiaan di akhirat” Syekh Jamaluddin Ibnu Jauzi, Hasan al-Bashri, Zuhduhu wa Mawa’idzuhu [Beirut Dar an-Nawadir], 2007 32. Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

kisah istighfar hasan al bashri